Saya menulis di saat genting rumah saya berdenting-denting kena pantulan air hujan 9 Desember, entah mungkin ada yang menangis sore tadi. Sebenarnya mood saya untuk menulis tentang perempuan ini sudah lahir sejak lama, tapi alangkah disayangkan, penundaan yang saya lakukan tak kunjung membuahkan tulisan. Di kala saya ada waktu, justru mood saya sedang compang-camping dilanda tsunami sore tadi. Tak apalah, walaupun karya tulis beasiswa belum tersentuh, tapi semoga ini jadi awal untuk memulai karya tulis 'paksaan' nanti.
Sekitar satu pekan yang lalu, saya diminta-dipaksa konteksnya-untuk menjadi moderator di salah satu dialog perempuan. Dialog yang diadakan BEM UNJ itu menghadirkan 3 perempuan hebat!. Perempuan pertama adalah seorang ketua KPAI yang baru saja lengser dari amanahnya 1 jam sebelum dialog tersebut. Peremmpuan kedua adalah seorang dosen pendidikan luar biasa yang dulunya seorang aktivis 98. Kedua perempuan tadi telah dianugerahi putra dan putri, bahkan Ketua KPAI yang seorang perempuan itu sudah menjadi seorang mbah!. walaupun memang semua pembicara tersebut merupakan orang yang hebat, tapi ada satu pembicara yang sempat membuat hatiku nyas-nyasan ketika ia diberikan kesempatan berbicara.
Pembicara yang saya belum sebutkan adalah seorang dosen sejarah. Jika sejak tadi kedua pembicara-selain pembicara yang ingin saya kisahkan-berbicara mengenai bagaimana cara mendidik anak, dan sebagainya. ketika Si dosen sejarah ini menyampaikan materinya, ia berkata "saya punya anak ratusan, tapi saya ibu tiri". Padahal sebelumnya, si Ketua KPAI menyebutkan akan kekejaman ibu tiri. Agak tercenganglah isi ruangan daksinapati ketika itu.
Lalu dia melanjutkan, "saya adalah seorang ibu tiri untuk ratusan anak yatim piatu yang saya bina di yayasan saya, karena saya tidak punya anak kandung.", semuanya diam. "saya menikah ketika usia 45 tahun, ketika memang bukan usia yang tepat untuk melahirkan." kemudian ada yang bergumam tapi agak kencang hingga terdengar ke depan, "karena saya terlalu sibuk menggeluti dunia saya sebagai seorang aktivis sosial, sehingga saya lupa kalau ada satu lagi yang kurang dalam hidup saya, yaitu "Menikah""...
Hm, saat ini suami dari ibu hebat itu telah tiada. Kawan, sungguh besar kekuatan yang dimiliki oleh perempuan ini. Apakah kita mampu menjalani kehidupan dengan santai jika kita menjadi ia?. Banyak ibu yang kurang menyadari betapa pentingnya seorang anak, hingga banyak ibu yang tega memperdagangkan anaknya.
Ketika itulah, semua audiensi peserta tersedot pada pembicara yang pekerjaannya biasa itu, namun ternyata ada maksud mengapa ia yang diundang, agar kita tak hanya memandang pada satu sisi kegembiraan. Karena kebahagiaan sebenarnya datang ketika kita mensyukuri dan tersenyum akan kekurang beruntungan yang kita terima.
Terimakasih ibu, semoga Allah mencatat harapanmu tuk cetak generasi pembangun.
:)
0 komentar:
Posting Komentar